Kamis, 26 November 2009

Tiga biji kakao dan koruptor.


Tiga biji kakao dan koruptor.

Pemikiran ini bermula ketika saya menonton sebuah program televisi dengan format talk show di hari minggu malam tanggal 22 November 2009. Dalam acara yang membahas kejadian dan kabar selama sepekan itu mengangkat obrolan tentang kejadian yang terjadi di Purwokerto, Jawa Timur sekitar beberapa bulan lalu. Di mana seorang ibu berusia 55 tahun terpaksa dipenjarakan selama 1,5 bulan beserta dua bulan masa tahanan akibat ia mencuri tiga buah biji coklat (atau dikenal dengan kakao) di sebuah perkebunan tempat ia bekerja.

Nama ibu tua itu adalah Minah. Sehari – hari ia memang bekerja sebagai pemetik kakao di sebuah perkebunan coklat. Kala itu Bu Minah tertangkap tangan mencuri tiga biji coklat yang berdasar penuturannya ingin menyemai biji coklat di lahan miliknya. Biji – biji kakao itu bernilai dua ribu rupiah. Tanpa mempertimbangkan asas kemanusiaan, seorang administrator di kebun itu melaporkan perbuatan Bu Minah kepada polisi. Namun beruntung polisi menawarkan jalan mediasi sebagai bentuk penyelesaian kedua pihak. Di sinilah saya sadar jika rakyat Indonesia ternyata senang menghakimi rakyat kecil dan tidak berani menghakimi yang bertahta. Pihak perkebunan menolak jalur yang ditawarkan kepolisian dan lebih senang untuk memenjarakan ibu tua yang sehari – harinya sudah sangat kesusahan ekonominya.

Dengan alasan memberikan efek jera, bu Minah akhirnya merasakan dinginnya jeruji besi. Inilah poin kedua kebodohan dari kasus yang sudah bodoh ini, ternyata menurut pengakuan seorang administrator kebun, ada banyak pencuri kakao lainnya yang lebih muda, lebih bertenaga, dan lebih sering melakukan pencurian, dibandingkan bu Minah yang ternyata baru sekali melakukan itu. Di akhir acara, saya dan semua penonton di studio televisi itu tertawa dan tepuk tangan ketika sang presenter berkata seperti ini, “jadi kesimpulannya, jangan mencuri kakao di usia 55 tahun, karena akan lebih mudah tertangkap pengawas kebun”.

Dari kasus diatas pasti kita bermuara pada satu pikiran, mengapa rakyat yang tidak berdaya harus dipenjarakan akibat pencurian bernilai dua ribu rupiah? Bukankah ada banyak koruptor yang telah mencuri miliaran uang Negara, yang keberadaannya jelas – jelas di depan hakim mahkamah konstitusi, namun tidak juga dipenjarakan? Hukum di negeri ini telah diinjak – injak. Telah banyak konspirasi penjahat untuk menghancurkan komisi pemberantasan kejahatan yang ada di republik ini. Tidak boleh dibiarkan.! Kita harus berani memberantas kejahatn besar di negeri ini. Karena hukum, lahir bukan untuk dibodohi.!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar