Rabu, 20 Januari 2010

Jangan Percaya..!




Pendidikkan  Indonesia =  Komoditi Kapitalis

Istilah McDonaldisasi pertama kali diperkenalkan oleh George Ritzer, seorang profesor dan ahli sosiologi dari Universitas Maryland, Amerika Serikat. Dalam karyanya The McDonaldization, sasaran utama perhatian George Ritzer semata-mata adalah hanya tertuju pada rasionalitas formal dan pada fakata bahwa restoran cepat saji (fast food) mencerminkan paradigma masa kini dari rasionalitas formal. Rasionalitas formal meliputi proses berpikir aktor dalam membuat pilihan mengenai alat dan tujuan. Dalam hal ini, pilihan merujuk pada kebiasaan, peraturan, dan hukum yang dibuat secara universal. Ketiganya berasal dari struktur yang berskala besar, seperti birokrasi dan ekonomi.
Contoh terbaik raionalisasi akhir-akhir ini adalah restoran cepat saji (fast food) yang ditulis Ritzer dalam bukunya. Restoran cepat saji (fast food) adalah sistem di mana seorang pekerja dan pelanggan digiring untuk mencari cara paling rasional dalam mencapai tujuan. Mendorong makanan melalui meja, misalnya, adalah cara rasional karena dedngan cara deemikian pelayan dapat menyodorkan dan pelanggan memperoleh makanan secara cepat dan efisien. Kecepatan dan efisiensi didiktekan oleh restoran cepat saji dan aturan operasionalnya. Contoh lain dari perilaku rasional lain di restoran cepat saji (terutama restoran McDonald) akhir-akhir ini adalah drive-thru. Dalam cara ini pelanggan bahkan tidak perlu turun dari kendaraannya untuk memesan makanan yang diinginkan. Pelanggan cukup memesan makanan dari dalam mobil kepada pekerja restoran.

Sebenarnya, ada empat dimensi atau komponen rasionalitas formal, yaitu efisiensi, kemampuan untuk diprediksi (predictability), lebih menekankan kuantitas ketimbang kualitas, dan penggantian teknologi manusia kepada teknologi non-manusia. Bentuk rasionalitas inilah yang cenderung menyebabkan ketakrasionalan dari sesuatu yang rasional (the irrationality of rationality). Efisiensi memiliki arti mencari cara yang tercepat dan terbaik untuk mencapai tujuan. Dalam restoran cepat saji, cara memesan drive-thru adalah cara yang cepat dalam mempertinggi efisiensi dalam mendapatkan pemesanan makanan. Dalam dunia pendidikan, efisiensi semacam ini diterapkan melalui pemadatan jam pelajaran. Sebelum tahun 2000-an waktu sekolah mulai dari hari Senin hingga hari Sabtu dengan waktu rata-rata belajar sekitar 4-5 jam per harinya. Namun sekarang, waktu sekolah dipadatkan, dari hari Senin hingga Jum’at dengan waktu rata-rata belajar 5-8 jam per harinya. Kemudian dalam pendidikan perguruan tinggi adalah program studi yang dinilai menghasilkan uang akan semakin didorong dan difasilitasi, sedangkan yang kurang menghasilkan uang akan ditutup. Contoh yang sangat ekstrem dan lebih memprihatinkan adalah adanya praktek gelap jual-beli skripsi. Fenomena biro jasa skripsi menyuguhkan fakta betapa dunia pendidikan tinggi di Indonesia telah sebegitu mengenaskan. Karena ambisi ingin secepatnya lulus, acapkali seorang mahasiswa mengambil jalan pintas dan berpikir pendek. Pilihan ini didasarkan atas efisiensi waktu. Secara kritis, Ritzer mempersoalkan: efisien buat siapa? Efisien bagi pelanggan, atau siapa? Ini sama halnya dengan mengatakan bahwa ATM akan lebih efisien. Padahal, tidak jarang ATM menjadi tidak efisien karena antrean yang tak terhindarkan. Dalam kasus ATM ini menjadi jelas bahwa definisi efisien lalu hanya bermakna bagi pihak pengelola bank, dengan memperkecil jumlah pegawai di bank dan digantikan dengan sejumlah mesin ATM itu.

Yang kedua adalah predictability, artinya bisa ditebak. Dengan kata lain, dunia menjadi tanpa kejutan. Menu yang ditawarkan oleh restoran cepat saji sama dan akan begitu seterusnya, seperti Big Mac di Jakarta rasanya akan sama saja dengan Big Mac di Tokyo. Prediktabilitas di dunia pendidikan saat ini adalah kurikulum yang diberikan. Kurikulum pendidikan sekarang mengacu pada kebutuhan pasar tenga kerja. Pemberian kurikulum semacam ini tidak hanya dilakukan oleh institusi-institusi pendidikan swasta, tetapi juga institusi-institusi pendidikan negeri. Di sini, asas pendidikan untuk kesejahteraan rakyat semakin terabaikan, sebagai gantinya pendidikan dilaksanakan untuk mendukung pasar atau kapitalisme. Efeknya adalah program studi atau jurusan yang diminati pun mengikuti tuntutan pasar, seperti manajemen bisnis, tehnik informatika, sistem informatika, dan lain-lain. sementara jurusan ilmu murni seperti sosiologi dan filsafat kurang diminati.

Ketika restoran cepat saji sepi dari pembeli karena mereka tidak bisa ke restoran maka mereka melakukan kegiatan efisiensi lagi demi keuntungan dalam bentuk layanan pesan antar. Layanan pesan antar ini memang tetap mampu menghadirkan makanan yang kita butuhkan, namun suasana makan tidak bisa kita dapatkan dengan baik. Suasana yang kita butuhkan untuk menambah selera makan dan meningkatkan kualitas makan kita. Bagai mana dengan dunia pendidikan kita saat ini? Jika kita perhatikan akhir-akhir ini, jawaban atas pertanyaan ini ada pada fenomena home schooling. Home schooling adalah pola pendidikan yang dilatarbelakangi adanya ketidakpercayaan terhadap fenomena negatif yang umum terdapat pada institusi formal: adanya bullying, serta metode yang didaktis dan seragam. Mungkin itu memang benar adanya. Akan tetapi menurut saya, home schooling tidak lebih dari wujud rasionalitas formal yang ada pada saat ini. Landasan dasar home schooling ini sebenarnya dari bimbingan belajar privat yang kemudian dirasionalkan oleh badan pendidikan terkait. Dengan home schooling anak-anak yang terabaikan pendidikannya karena kesibukan orang tua nya (atau mungkin dirinya) dalam mencari uang bisa memenuhi kebutuhannya akan pendidikan. Mungkin saja pendidikannya terpenuhi, tapi hanya sebatas kurikulum yang ditetapkan saja. Pendidikan nilai-nilai moral seperti solidaritas yang hanya bisa didapat di sekolah tak akan mereka dapatkan. Selain itu, mereka juga tidak akan merasakan pengalaman suasana akademis di sekolah. Fenomena home schooling juga merupakan bentuk dari rasionalitas yang tertebak. Mengapa saya mengatakan demikian? Kesibukan orang tua dalam mengurus pekerjaan demi uang membuat mereka sibuk untuk mengurus anaknya bersekolah. Dan, mengingat banyaknya artis yang mengabaikan pendidikan sekolah demi uang maka tidak heran bila nanti home schooling ini akan menjamur dimana-mana.

Selanjutnya, prediktabilitas ini membawa pada penekanan akan kuantitas ketimbang kualitas atau istilahnya adalah calculability. Daripada tergantung dengan kualitas manusia seorang koki terampil, restoran cepat saji lebih memilih manusia yang tak terampil yang mengikuti metode rinci dan garis perakitan yang diterapkan dalam memasak dan menyajikan masakan kepada pemesan. Calculability pada dunia pendidikan terjadi ketika proses dan cara evalusasi hasil pendidikan hanya dilihat dari aspek kuantitas saja. Ujian Akhir Nasional adalah contoh nyata dimana hasil ujian tersebut dijadikan patokan bagi seseorang untuk lulus sekolah ketimbang kualitas pembelajaran selama orang tersebut bersekolah.

Yang keempat, yaitu penekanan terhadap teknologi non-manusia ketimbang teknologi manusia. Penekanan terhadap teknologi non-manusia terletak pada penggunaan seperti AC, Kursi-kursi dari desain yang menarik, dan penggunaan alat masak yang disertai penunjuk waktu. Prinsip penekanan seperti ini dijumpai pada saat muncul asumsi kalau praktik pendidikan akan terselenggara dan sukses jika menggunakan dan didukung oleh teknologi tinggi atau hi-tech. Sekarang ini, ada aktivitas pendidikan yang disebut e-learning. Dari namanya saja sudah kelihatan bahwa pendidikan ini bersifat canggih. E-learning merupakan singkatan dari kata electronic learning. Berarti pendidikan ini menekankan pada alat-alat elektronik seperti radio, televisi, dan internet. Dengan e-learning peserta didik dan pendidik tidak perlu berada pada waktu dan tempat yang bersamaan. Peserta didik bisa mendengarkan kuliah yang diberikan pendidiknya kapan pun dengan kaset yang sudah direkam sebelumnya. Ini sebuah ciri dari modernitas, kaburnya definisi ruang dan waktu (space and time). Aktivitas pendidikan sudah tidak dikontrol lagi oleh tenaga manusia, melainkan oleh teknologi non-manusia. Konsep e-learning merupakan wujud nyata dari bergesernya teknologi manusia ke teknologi non-manusia. Output yang dihasilkan dari pendidikan seperti ini tentu akan tidak berkualitas. Institusi pendidikan semacam ini tidak akan mampu membentuk dan menanamkan nilai-nilai intelektual, seperti kejujuran dan tanggungjawab kepada pribadi manusianya. Adanya Mcdonaldisasi pendidikan yang melanda pendidikan kita, tentu berimbas pada karakter manusia yang mementingkan asal lulus dan mengabaikan proses pendidikan dan nilai-nilai ilmiah yang seharusnya dijalankan disaat mengenyam pendidikan. Menjamurnya institusi pendidikan tinggi hanya memenuhi target untuk memberikan gelar kepada peserta didiknya, entah untuk menaikkan gaji atau sekedar cepat lulus agar segera memperoleh kerja. Kalau sudah seperti ini dehumanisasi manusia telah terjadi pada dunia pendidikan kita.

Secara umum dapat dikatakan bahwa sebenarnya proses rasionalisasi itu ternyata justru membelenggu dan menolak sifat dasar kemanusiaan. Orang akhirnya hanya bergerak dari suatu institusi-institusi yang telah terasionalisasi dan tak memiliki ruh kemanusiaan. Pun, irasionalitas yang mendekam dalam sistem rasional ini berarti bahwa sistem rasional itu merupakan sistem yang akhirnya tidak beralasan dan mengingkari kemanusiaan. Dalam kasus McDonald Ritzer menyebutkan bagaimana sebenarnya prinsip efisiensi yang menjadi alasan pilihan McDonaldisasi masyarakat menjadi tidak rasional. Rasionalitas formal akan membuat orang menjadi memiliki sejumlah kecil pilihan sarana bagi pencapaian tujuan akhir. Jadinya, pilihan masyarakat diarahkan kepada proses homogenisasi yang dianggap sebagai suatu bentuk pilihan optimal.

Proses industrialisasi dan kapitalisasi yang berujung pada homogenisasi tampak pada dunia pendidikan kita saat ini. Undang-undang BHP yang akan mengubah status Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) adalah bukti kalau pendidikan akan menjadi lahan segar untuk industrialisasi gaya baru. Dengan alibi menaikkan standar mutu pendidikan melalui perbaikan fasilitas pendukung seperti gedung malah menjadikan biaya kuliah berubah mahal. Bayangkan saja, menurut info yang saya dapat dari seorang teman, untuk mendapatkan selembar formulir ujian seleksi masuk sebut saja IPB (Institut Pertanian Babelan) dibutuhkan biaya sebesar 300 ribu rupiah. Bila kita kalikan dengan peminatnya yang mencapai jutaan orang, maka sudah tidak terhitung uang yang diterima.
Bahkan ketika calon mahasiswa tersebut diterima, uang pangkal dan spp nya masih tergolong besar bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar belum sejahtera. Memang uang tersebut bisa ditekan, tetapi harus melalui birokrasi yang berbelit-belit, seperti surat keterangan tidak mampu dari RT, RW, dan lain-lainnya.

Sepertinya sekarang ini kapitalisasi tidak hanya tentang alat-alat produksi saja, melainkan pada alat-alat konsumsi baru melalui McDonaldisasi. Alat-alat konsumsi memainkan peran mediasi yang sama dalam konsumsi yang dimainkan alat-alat produksi dalam teori produksi dari Marx. Yakni, sebagaimana alat-alat produksi adalah entintas-entintas yang memungkinkan proletariat untuk memproduksi komoditas dan dikontrol dan dieksploitasi sebagai pekerja, alat-alat konsumsi didefinisikan sebagai hal-hal yang memungkinkan orang untuk mendapatkan barang dan jasa dan dikontrol serta dieksploitasi kapasitasnya sebagai konsumen. Ini berarti menjelaskan bahwa eksploitasi sudah tidak lagi bermain di ranah alat-alat produksi saja, melainkan sudah berada pada ranah alat-alat konsumsi yang baru seperti pendidikan. Sungguh disayangkan, ketika dunia pendidikan Indonesia sedang membutuhkan pertolongan malah dijadikan lahan subur nan potensial bagi kapitalisme.